Organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan

Organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan yang berkembang pada masa Pergerakan Nasional Indonesia

JONG JAVA
Jong Java (sebelum tahun 1918 bernama Tri Koro Dharmo)
Berbicara tentang perhimpunan pelajar yang pertama dan yang terbesar di tanah Jawa, adalah Jong Java ). Pada tahun 1915 pelajar STOVIA Satiman Wirjosandjojo mengam-bil inisiatif mendirikan perhimpunan untuk para pelajar pendidikan menengah dan lanjut. Mahasiswa kedokteran ini untuk pertama kali menjadi berita tahun 1912, ketika ia dengan keras memprotes peraturan tentang pakaian di sekolah kedokteran di Batavia. Para pelajar Jawa waktu itu diwajibkan mengenakan jarik (kain) dan udheng (ikat kepala). Di atas udheng itu dikena-kan topi berlambang kedokteran. Suatu pemandangan yang menggelikan, karenanya calon-calon dokter yang biasanya berasal dari kalangan priyayi itu dicemoohkan orang sebagai "kondektur trem". Satiman berjuang agar para pelajar dapat mengenakan "pakaian bebas". Dalam praktek itu berarti hak untuk berpakaian sebagai orang Barat. Sesudah lama dipertim-bangkan, akhirnya direktur STOVIA memutuskan untuk meluluskan permohonan itu, terutama karena ternyata pakaian Barat agak lebih murah daripada pakaian Jawa. Dengan sendi-rinya waktu itulah kaum elit yang baru muncul dan berpendi-dikan baik itu di masa studi dan sesudahnya mulai membedakan diri secara lahiriah dari orang-orang setanah airnya dengan menggunakan gayapakaian si penjajah. Para pelajar STOVIA itu adalah orang-orang yang sadar akan kelas dan statusnya, dan antara sesamanya mereka berbicara Belanda.Ini tidak berarti bahwa rnereka mencampakkan budaya Jawa. Satiman justru ingin menghidupkan kembali budaya itu. Tang-gal 7 Maret 1915 bersama dengan Kadarman dan Soenardi ia mendirikan Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) yang menjadi pendahulu Jong Java. Yang menjadi anggota pertamanya adalah lima puluh pelajar STOVIA, Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari (Weltevreden), dan Koningin Wilhelmina School (KWS). Ketiga tujuan mulia itu adalah:"Mengadakan hubungan antara para pelajar Pribumi yang be-lajar di sekolah-sekolah tinggi dan menengah, dan juga di kursus-kursus pendidikan lanjut dan vak. Membangkitkan dan meningkatkan minat terhadap kesenian dan bahasa Nasional. Memajukan pengetahuan umum para anggota." (diambil dari JongJava's Jaar-boekje 1923: 115-16). Tujuan itu menyatukan dua prinsip dasar yang hidup di kalang-an pemuda itu. Yang pertama adalah perlunya edukasi, pengetahuan, pendidikan. Ini berarti pertama-tama pengetahuan Barat yang merupakan prasyarat mutlak kemajuan masyarakat Jawa. Pengetahuan mengenai ilmu dan teknologi Barat, pengetahuan tentang bahasa-bahasa Eropa merupakan kunci kemajuan. Yang kedua adalah cinta kepada budaya Jawa. Para pemuda priyayi itu menaruh hormat kepada tradisi Jawa, budaya nenek-moyang yang pernah menjadi penguasa-penguasa perkasa kerajaan Majapahit dan Mataram. Sebagaimana semua priyayi yang lain, mereka sadar sedang hidup di Jaman Edan (}a-man Gila), ketika kesenian Jawa tenggelam. Sebagaimana para anggota Comite voor het Javaans Nationalisme mereka menaruh minat yang besar terhadap budaya Jawa, mendambakan sekali pulihnya Jawa masa lalu. Ketua Satiman mengecam para pemuda Jawa yang untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut mereka pergi ke Eropa dan berusaha menjadi orang Barat. Budaya sendiri mereka buang dan lupakan. Satiman membayangkan keadaan budaya jawa itu sebagai tanah bera.


Jong Sumatra
Sumatranen Bond, Jong
Suatu organisasi kedaerahan yang didirikan oleh pemuda-pemuda Sumatera di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1917. Bertujuan menanamkan kepedulian terhadap kebudayaan sendiri dan memperkokoh hubungan murid sekolah menengah dari Sumatera. Organisasi tersebut muncul sebagai wujud kesadaran di kalangan pelajar-pelajar di Jakarta yang berasal dari Sumatera akan pentingnya organisasi, dan adanya rangsangan yang timbul setelah terbentuknya Jong Java, sehingga membuat mereka tergerak pula untuk mendirikan organisasi pemuda.

JONG MINANG KABAU
Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[2] Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).[3]

JONG BATAK
KabarIndonesia - Amir Sjarifuddin Harahap hidup pada masa 1907-1948. Beliau lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949) keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan mantan jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu.


Karakternya sejak kecil sudah telihat berkepribadian teguh, si Jugulbaut (si Badung). Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.

Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen menjadi embrio lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di Belanda, dua sepupu ini menumpang di rumah seorang guru penganut Kristen Calvinis bernama Dirk Smink.

jong Ambon
Organisasi Ambon Muda atau Pemuda-pemuda Ambon pada masa pergerakan nasional sebelum Sumpah Pemuda. Maksud dan tujuannya adalah menggalang persatuan dan mempererat tali persaudaraan di kalangan pemuda-pemuda yang berasal dari daerah Ambon (Maluku). Salah satu tokoh Jong Ambon yang terkenal adalah J. Leimena.