Hari Nusantara tanggal 13 Desember
Deklarasi Djoeanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957, secara geo-politik dan geo-ekonomi memiliki arti yang sangat penting karena merupakan proklamasi kesatuan aset kewilayahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama kesatuan wilayah laut kedaulatan. Namun, secara formal peringatan deklarasi ini resmi mulai diperingati sejak tanggal 13 Desember 2000. Selanjutnya, melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara, artinya setiap tanggal 13 Desember mulai diperingati sebagai salah satu Hari Nasional.
Dicetuskannya Deklarasi Djoeanda telah memberikan tambahan luas wilayah laut sekitar 5,8 juta km2 termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau sekitar 73% dari seluruh luas wilayah yurisdiksi Indonesia. Namun demikian, selain memberikan tambahan luas wilayah laut yang cukup signifikan, deklarasi Djoeanda juga membawa konsekuensi lain, yaitu perlunya dilakukan pemetaan fakta fisik seluruh perairan Indonesia mulai dari laut territotial sampai ke Landas Kontinen. Fakta inilah yang akan menjadi bukti fisik sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Beberapa ahli sejarah nasional berpendapat bahwa Deklarasi Djoeanda dapat disetarakan sebagai pilar utama yang ketiga pada pembangunan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia, setelah dua pilar utama sebelumnya yaitu peristiwa heroik Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan.
Inti Deklarasi Djoeanda
Inti dari Deklarasi Djoeanda menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia. Sebelum deklarasi ini, masyarakat internasional mengakui bahwa batas laut teritorial hanya selebar 3 mil laut dihitung dari garis pantai terendah. Ir. H. Djoeanda sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia pada waktu itu, dengan tekad bulat dan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie tahun 1939, melainkan termasuk juga wilayah laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia.
Batas wilayah laut berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS-1982), UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, dan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, lebih menegaskan lagi bahwa wilayah laut secara hukum dan administratif merupakan perairan yurisdiksi negara kepulauan (archipelagic state), yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, perairan wilayah territorial, zona tambahan (contigous zone), Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Landas Kontinen Indonesia (LKI). Dengan demikian, wilayah NKRI merupakan suatu kesatuan yang utuh, dimana laut pedalaman yang berada diantara pulau-pulau menjadi wilayah yang dikuasai penuh sebagai wilayah nasional yang disebut Tanah Air Indonesia atau Nusantara.
Sebagai Pilar Utama Ketiga
Ditinjau dari peran geopolitik yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan Indonesia serta kerjasama internasional, maka sudah selayaknya Deklarasi Djoeanda ini disejajarkan sebagai salah satu pilar dari tiga pilar utama pembangunan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia, yaitu:
Pilar Utama Pertama, kesatuan kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928;
Pilar Utama Kedua, kesatuan kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945; dan
Pilar Utama Ketiga, kesatuan kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djoeanda tanggal 13 Desember 1957.
Sebagai tindak lanjut deklarasi ini maka telah disusun beberapa Undang Undang terkait yang dapat diacu sebagai landasan yuridis diantaranya:
UU No. 4 Prp Tahun 1960 (selanjutnya diganti oleh UU No. 6 tahun 1996) tentang Perairan Indonesia. Dalam Undang Undang ini dicantumkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan. Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Kedaulatan Negara Republik Indonesia meliputi laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman serta ruang udara diatas laut territorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta dasar laut dari tanah di bawahnya, termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pemanfaatan pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum nasional yang berlaku. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konvensi hukum internasional lainnya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, UU No. 6 Tahun 1996 juga merupakan penjelasan terhadap UU No. 1/1973 tentang Landas Kontinen dan UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, sedangkan UU No. 17 Tahun 1985 berisi tentang wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi laut nasional merupakan ratifikasi dari hasil Konferensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982.
Paska UNCLOS 1982
Selanjutnya berbagai kebijakan kelautan telah disahkan diantaranya Deklarasi Bunaken yang dicanangkan oleh Presiden B.J. Habibie tanggal 26 September 1998, dan Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari tanggal 11 Oktober 2003 oleh Presiden Megawati Sukarnoputri di Teluk Tomini, Gorontalo, telah memberikan dukungan bagi visi Pembangunan Nasional yang harus juga berorientasi ke laut, sehingga perhatian harus diberikan untuk segera melaksanakan Pembangunan Kelautan yang meliputi pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi sumber daya kelautan Indonesia.Untuk mempercepat terwujudnya pemanfaatan sumber daya alam laut tersebut, maka perlu dilakukan upaya mendasar yaitu perubahan paradigma (paradigm shift) Pembangunan Nasional, dari land-based socio-economic development menjadi ocean-based socio-economic development. Hal ini bukan berarti agar melupakan atau meninggalkan pembangunan di darat, tetapi justru secara sinergis dan proporsional mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan di laut.
Data Aset Kewilayahan NKRI
Wilayah laut kedaulatan sebagai bagian integral dari wilayah kelautan nasional yang ditetapkan melalui Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS) pada tahun 1982 tentang Hukum Laut Internasional (secara resmi diratifikasi pada tanggal 19 November 1993 setelah disetujui dan ditandatangani oleh 60 negara anggota PBB kemudian disahkan secara resmi tanggal 16 November 1994), merupakan wilayah teritorial Indonesia yang melingkupi seluruh kepulauan Indonesia sampai jarak 12 mil ke arah luar dari garis pantai sebagai garis pangkal.
Dengan ditetapkannya konvensi tersebut maka wilayah laut yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,8 juta kilometer persegi terdiri atas 3,1 juta kilometer persegi perairan Indonesia (meningkat luasnya 57 kali dari hanya sekitar 100.000 km2 warisan Hindia Belanda) dan 2,7 juta kilometer persegi perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Berdasarkan statistik aset kewilayahan nasional, luas wilayah perairan Indonesia terdiri dari luas daratan kepulauan 2,8 juta km2, luas laut territorial 0,4 juta km2, luas wilayah laut ZEE 2,7 juta km2 dan klaim wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil sementara ini telah disubmisikan ke Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) di sekretariat jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sekitar 3500 km2 di perairan barat Aceh (Gambar 2). Jumlah seluruh pulau mencapai 17.480 pulau besar dan kecil (setelah 24 pulau-pulau kecil dinyatakan tenggelam dan tidak dicantumkan lagi pada peta laut), sedangkan panjang garis pantai pulau-pulau nusantara mencapai 95.181 km lebih, yang merupakan garis pantai terpanjang keempat di dunia. Fakta fisik inilah yang menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia walaupun belum layak disebut sebagai negara maritim.
Pilar Pembangunan Kelautan Indonesia
Sektor utama Pembangunan Kelautan di Indonesia terdiri dari sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, konstruksi kelautan, dan jasa kelautan. Ditinjau dari geopolitik dan geostrategis, pengelolaan kelautan ini sangat logis jika dijadikan tumpuan dalam sektor pembangunan ekonomi nasional. Namun ironisnya, dalam Pembangunan Nasional ataupun Pembangunan Daerah sampai saat ini, sektor-sektor tersebut masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector), terbukti dari masih rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya, penerapan teknologi, tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan.
Pembangunan Kelautan bukanlah sektor tunggal melainkan multi sektor dan multi fungsi, sehingga dalam pemanfaatannya diperlukan sinergi antar pengelola sumber kekayaan alam di laut dan koordinasi lintas sektoral yang terkait dan kompetan di bidang kelautan. Ditinjau dari fungsinya, maka sektor kelautan dibedakan menjadi fungsi laut sebagai transportasi, perdagangan, pertahanan keamanan yang sering dikelompokkan sebagai fungsi maritim, dan fungsi laut sebagai penyedia sumber daya dan jasa seperti perikanan, pariwisata bahari, pertambangan, konstruksi kelautan, industri maritim serta jasa kelautan lainnya.
Program pembangunan kelautan dititik-beratkan pada penganekaragaman, pemanfaatan dan pembudidayaan sumberdaya kelautan serta pemeliharaan kelestarian ekosistem dengan bertumpu pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Arahan program ini telah memberikan pedoman yang jelas tentang sasaran pembangunan sektor kelautan yang ditujukan pada upaya terciptanya penataan kelembagaan dalam rangka mengoptimasikan kemampuan nasional untuk mendayagunakan sumber daya alam laut di wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian tantangan pembangunan kelautan yang masih dihadapi adalah bagaimana mewujudkan serta meningkatkan pengelolaan sumber kekayaan alam di laut, sehingga potensi kelautan yang masih bersifat comparative adventages dapat menjadi competitive advantages.
Awal Era Kelautan Indonesia
Walaupun kata kelautan tidak dicantumkan dalam UUD 1945 serta amandemennya, namun pasal 33 menyiratkan bahwa bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya, merupakan asset nasional dan dikuasai Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam hal ini termasuk kekayaan alam laut.
Kebangkitan pembangunan kelautan diawali dengan dicanangkannya Deklarasi Bunaken 26 September 1998 presiden B.J. Habibie, selanjutnya Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari 11 Okt 2003 oleh presiden Megawati Sukarnoputri yang mengemukakan konsepsi visi pembangunan kelautan untuk merubah paradigm pembangunan yang berorientasi pada land-based socio-economic development menjadi ocean-based socio-economic development. Hal ini tidak berarti meninggalkan pembangunan di darat, tetapi justru secara sinergis dan proporsional mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan laut.
Beberapa kegiatan internasional yang membanggakan dan selanjutnya menjadi monument sejarah kejayaan kelautan Indonesia adalah:
Penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado, 11-14 Mei 2009 yang diikuti oleh lebih dari 76 negara dan 12 lembaga nonpemerintah tingkat dunia telah melahirkan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration). Deklarasi Kelautan Manado yang terdiri atas 21 butir komitmen tersebut berisi program penyelamatan lingkungan laut secara berkelanjutan di setiap negara yang meliputi perlindungan terumbu karang, hutan mangrove, biota laut, deregulasi penangkapan dan perdagangan ikan demi kelestarian, dan kerja sama penelitian kelautan.
Pemecahan Rekor Dunia Selam Masal dan Sail Bunaken 2009 pada bulan Agustus 2009. Dua rekor dunia selam yang tercatat pada Guinness Book of Records 2009 diciptakan pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2009 di perairan Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, dalam dua kategori yaitu The Largest Scuba Diving Lesson dengan jumlah penyelam 2.465 orang dan The Most People Scuba Diving Simultanously. Selain itu, rangkaian kegiatan kelautan ini juga menampilkan parade kapal perang internasional (International Fleet Review/IFR).
Sail Banda 2010 yang dilaksanakan tanggal 27 Juli – 8 Agustus 2010 di tiga lokasi yaitu Banda Neira, kabupaten Maluku Tengah, kota Ambon dan Tiakur, ibu kota kabupaten Maluku Barat Daya. Thema Sail Banda 1020 adalah “Small Island For Our Future“ karena Maluku sebagai lokasi kegiatan ini merupakan provinsi yang memiliki struktur geografis dominan pulau-pulau kecil. Kegiatan utama dalam membahas thema adalah konferensi internasional tentang pulau-pulau kecil melibatkan 38 Negara pulau-pulau kecil (Small Island Developping States). Acara utama pada Sail Banda 2010 ini diantaranya yacht rally and race dari Australia ke Banda, kerjurnas olah raga perairan dan fishing game, dan internasional diving tournament.
Potensi Kelautan Indonesia
Potensi sumber kekayaan alam hayati di laut mempunyai nilai strategis karena merupakan sumber makanan dan obat-obatan bagi mahluk hidup. Habitat sumber daya hutan bakau mencapai 2,4 juta Ha, sedangkan terumbu karang mencapai 8,5 juta Ha. Sumber kekayaan non hayati terutama sumber minyak dan gas bumi mencapai 86,94 Milyar barel minyak bumi dan 384,6 Trilliun kaki kubik gas bumi. Potensi migas ini 70% diantarnya terdapat di lepas pantai dan lebih dari separuhnya terletak di laut dalam. Pada saat ini telah beroperasi lebih dari 36 perusahaan minyak di Wilayah Kerja (WK) lepas pantai dari keseluruhan 153 WK yang melaksanakan eksplorasi dan ekploitasi di lepas pantai.
Prospek pengelolaan sumber kekayaan alam non hayati lainnya terutama sumber daya mineral kelautan di lepas pantai ini semakin berpeluang dengan ditemukannya indikasi baru potensi kerak mangaan, mineral hidrotermal, dan gas biogenik methan, dan gas hidrat di dasar laut.
Dicetuskannya Deklarasi Djoeanda telah memberikan tambahan luas wilayah laut sekitar 5,8 juta km2 termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau sekitar 73% dari seluruh luas wilayah yurisdiksi Indonesia. Namun demikian, selain memberikan tambahan luas wilayah laut yang cukup signifikan, deklarasi Djoeanda juga membawa konsekuensi lain, yaitu perlunya dilakukan pemetaan fakta fisik seluruh perairan Indonesia mulai dari laut territotial sampai ke Landas Kontinen. Fakta inilah yang akan menjadi bukti fisik sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Beberapa ahli sejarah nasional berpendapat bahwa Deklarasi Djoeanda dapat disetarakan sebagai pilar utama yang ketiga pada pembangunan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia, setelah dua pilar utama sebelumnya yaitu peristiwa heroik Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan.
Inti Deklarasi Djoeanda
Inti dari Deklarasi Djoeanda menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia. Sebelum deklarasi ini, masyarakat internasional mengakui bahwa batas laut teritorial hanya selebar 3 mil laut dihitung dari garis pantai terendah. Ir. H. Djoeanda sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia pada waktu itu, dengan tekad bulat dan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie tahun 1939, melainkan termasuk juga wilayah laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia.
Batas wilayah laut berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS-1982), UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, dan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, lebih menegaskan lagi bahwa wilayah laut secara hukum dan administratif merupakan perairan yurisdiksi negara kepulauan (archipelagic state), yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, perairan wilayah territorial, zona tambahan (contigous zone), Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Landas Kontinen Indonesia (LKI). Dengan demikian, wilayah NKRI merupakan suatu kesatuan yang utuh, dimana laut pedalaman yang berada diantara pulau-pulau menjadi wilayah yang dikuasai penuh sebagai wilayah nasional yang disebut Tanah Air Indonesia atau Nusantara.
Sebagai Pilar Utama Ketiga
Ditinjau dari peran geopolitik yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan Indonesia serta kerjasama internasional, maka sudah selayaknya Deklarasi Djoeanda ini disejajarkan sebagai salah satu pilar dari tiga pilar utama pembangunan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia, yaitu:
Pilar Utama Pertama, kesatuan kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928;
Pilar Utama Kedua, kesatuan kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945; dan
Pilar Utama Ketiga, kesatuan kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djoeanda tanggal 13 Desember 1957.
Sebagai tindak lanjut deklarasi ini maka telah disusun beberapa Undang Undang terkait yang dapat diacu sebagai landasan yuridis diantaranya:
UU No. 4 Prp Tahun 1960 (selanjutnya diganti oleh UU No. 6 tahun 1996) tentang Perairan Indonesia. Dalam Undang Undang ini dicantumkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan. Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Kedaulatan Negara Republik Indonesia meliputi laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman serta ruang udara diatas laut territorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta dasar laut dari tanah di bawahnya, termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pemanfaatan pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum nasional yang berlaku. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konvensi hukum internasional lainnya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, UU No. 6 Tahun 1996 juga merupakan penjelasan terhadap UU No. 1/1973 tentang Landas Kontinen dan UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, sedangkan UU No. 17 Tahun 1985 berisi tentang wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi laut nasional merupakan ratifikasi dari hasil Konferensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982.
Paska UNCLOS 1982
Selanjutnya berbagai kebijakan kelautan telah disahkan diantaranya Deklarasi Bunaken yang dicanangkan oleh Presiden B.J. Habibie tanggal 26 September 1998, dan Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari tanggal 11 Oktober 2003 oleh Presiden Megawati Sukarnoputri di Teluk Tomini, Gorontalo, telah memberikan dukungan bagi visi Pembangunan Nasional yang harus juga berorientasi ke laut, sehingga perhatian harus diberikan untuk segera melaksanakan Pembangunan Kelautan yang meliputi pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi sumber daya kelautan Indonesia.Untuk mempercepat terwujudnya pemanfaatan sumber daya alam laut tersebut, maka perlu dilakukan upaya mendasar yaitu perubahan paradigma (paradigm shift) Pembangunan Nasional, dari land-based socio-economic development menjadi ocean-based socio-economic development. Hal ini bukan berarti agar melupakan atau meninggalkan pembangunan di darat, tetapi justru secara sinergis dan proporsional mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan di laut.
Data Aset Kewilayahan NKRI
Wilayah laut kedaulatan sebagai bagian integral dari wilayah kelautan nasional yang ditetapkan melalui Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS) pada tahun 1982 tentang Hukum Laut Internasional (secara resmi diratifikasi pada tanggal 19 November 1993 setelah disetujui dan ditandatangani oleh 60 negara anggota PBB kemudian disahkan secara resmi tanggal 16 November 1994), merupakan wilayah teritorial Indonesia yang melingkupi seluruh kepulauan Indonesia sampai jarak 12 mil ke arah luar dari garis pantai sebagai garis pangkal.
Dengan ditetapkannya konvensi tersebut maka wilayah laut yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,8 juta kilometer persegi terdiri atas 3,1 juta kilometer persegi perairan Indonesia (meningkat luasnya 57 kali dari hanya sekitar 100.000 km2 warisan Hindia Belanda) dan 2,7 juta kilometer persegi perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Berdasarkan statistik aset kewilayahan nasional, luas wilayah perairan Indonesia terdiri dari luas daratan kepulauan 2,8 juta km2, luas laut territorial 0,4 juta km2, luas wilayah laut ZEE 2,7 juta km2 dan klaim wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil sementara ini telah disubmisikan ke Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) di sekretariat jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sekitar 3500 km2 di perairan barat Aceh (Gambar 2). Jumlah seluruh pulau mencapai 17.480 pulau besar dan kecil (setelah 24 pulau-pulau kecil dinyatakan tenggelam dan tidak dicantumkan lagi pada peta laut), sedangkan panjang garis pantai pulau-pulau nusantara mencapai 95.181 km lebih, yang merupakan garis pantai terpanjang keempat di dunia. Fakta fisik inilah yang menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia walaupun belum layak disebut sebagai negara maritim.
Pilar Pembangunan Kelautan Indonesia
Sektor utama Pembangunan Kelautan di Indonesia terdiri dari sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, konstruksi kelautan, dan jasa kelautan. Ditinjau dari geopolitik dan geostrategis, pengelolaan kelautan ini sangat logis jika dijadikan tumpuan dalam sektor pembangunan ekonomi nasional. Namun ironisnya, dalam Pembangunan Nasional ataupun Pembangunan Daerah sampai saat ini, sektor-sektor tersebut masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector), terbukti dari masih rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya, penerapan teknologi, tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan.
Pembangunan Kelautan bukanlah sektor tunggal melainkan multi sektor dan multi fungsi, sehingga dalam pemanfaatannya diperlukan sinergi antar pengelola sumber kekayaan alam di laut dan koordinasi lintas sektoral yang terkait dan kompetan di bidang kelautan. Ditinjau dari fungsinya, maka sektor kelautan dibedakan menjadi fungsi laut sebagai transportasi, perdagangan, pertahanan keamanan yang sering dikelompokkan sebagai fungsi maritim, dan fungsi laut sebagai penyedia sumber daya dan jasa seperti perikanan, pariwisata bahari, pertambangan, konstruksi kelautan, industri maritim serta jasa kelautan lainnya.
Program pembangunan kelautan dititik-beratkan pada penganekaragaman, pemanfaatan dan pembudidayaan sumberdaya kelautan serta pemeliharaan kelestarian ekosistem dengan bertumpu pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Arahan program ini telah memberikan pedoman yang jelas tentang sasaran pembangunan sektor kelautan yang ditujukan pada upaya terciptanya penataan kelembagaan dalam rangka mengoptimasikan kemampuan nasional untuk mendayagunakan sumber daya alam laut di wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian tantangan pembangunan kelautan yang masih dihadapi adalah bagaimana mewujudkan serta meningkatkan pengelolaan sumber kekayaan alam di laut, sehingga potensi kelautan yang masih bersifat comparative adventages dapat menjadi competitive advantages.
Awal Era Kelautan Indonesia
Walaupun kata kelautan tidak dicantumkan dalam UUD 1945 serta amandemennya, namun pasal 33 menyiratkan bahwa bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya, merupakan asset nasional dan dikuasai Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam hal ini termasuk kekayaan alam laut.
Kebangkitan pembangunan kelautan diawali dengan dicanangkannya Deklarasi Bunaken 26 September 1998 presiden B.J. Habibie, selanjutnya Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari 11 Okt 2003 oleh presiden Megawati Sukarnoputri yang mengemukakan konsepsi visi pembangunan kelautan untuk merubah paradigm pembangunan yang berorientasi pada land-based socio-economic development menjadi ocean-based socio-economic development. Hal ini tidak berarti meninggalkan pembangunan di darat, tetapi justru secara sinergis dan proporsional mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan laut.
Beberapa kegiatan internasional yang membanggakan dan selanjutnya menjadi monument sejarah kejayaan kelautan Indonesia adalah:
Penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado, 11-14 Mei 2009 yang diikuti oleh lebih dari 76 negara dan 12 lembaga nonpemerintah tingkat dunia telah melahirkan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration). Deklarasi Kelautan Manado yang terdiri atas 21 butir komitmen tersebut berisi program penyelamatan lingkungan laut secara berkelanjutan di setiap negara yang meliputi perlindungan terumbu karang, hutan mangrove, biota laut, deregulasi penangkapan dan perdagangan ikan demi kelestarian, dan kerja sama penelitian kelautan.
Pemecahan Rekor Dunia Selam Masal dan Sail Bunaken 2009 pada bulan Agustus 2009. Dua rekor dunia selam yang tercatat pada Guinness Book of Records 2009 diciptakan pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2009 di perairan Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, dalam dua kategori yaitu The Largest Scuba Diving Lesson dengan jumlah penyelam 2.465 orang dan The Most People Scuba Diving Simultanously. Selain itu, rangkaian kegiatan kelautan ini juga menampilkan parade kapal perang internasional (International Fleet Review/IFR).
Sail Banda 2010 yang dilaksanakan tanggal 27 Juli – 8 Agustus 2010 di tiga lokasi yaitu Banda Neira, kabupaten Maluku Tengah, kota Ambon dan Tiakur, ibu kota kabupaten Maluku Barat Daya. Thema Sail Banda 1020 adalah “Small Island For Our Future“ karena Maluku sebagai lokasi kegiatan ini merupakan provinsi yang memiliki struktur geografis dominan pulau-pulau kecil. Kegiatan utama dalam membahas thema adalah konferensi internasional tentang pulau-pulau kecil melibatkan 38 Negara pulau-pulau kecil (Small Island Developping States). Acara utama pada Sail Banda 2010 ini diantaranya yacht rally and race dari Australia ke Banda, kerjurnas olah raga perairan dan fishing game, dan internasional diving tournament.
Potensi Kelautan Indonesia
Potensi sumber kekayaan alam hayati di laut mempunyai nilai strategis karena merupakan sumber makanan dan obat-obatan bagi mahluk hidup. Habitat sumber daya hutan bakau mencapai 2,4 juta Ha, sedangkan terumbu karang mencapai 8,5 juta Ha. Sumber kekayaan non hayati terutama sumber minyak dan gas bumi mencapai 86,94 Milyar barel minyak bumi dan 384,6 Trilliun kaki kubik gas bumi. Potensi migas ini 70% diantarnya terdapat di lepas pantai dan lebih dari separuhnya terletak di laut dalam. Pada saat ini telah beroperasi lebih dari 36 perusahaan minyak di Wilayah Kerja (WK) lepas pantai dari keseluruhan 153 WK yang melaksanakan eksplorasi dan ekploitasi di lepas pantai.
Prospek pengelolaan sumber kekayaan alam non hayati lainnya terutama sumber daya mineral kelautan di lepas pantai ini semakin berpeluang dengan ditemukannya indikasi baru potensi kerak mangaan, mineral hidrotermal, dan gas biogenik methan, dan gas hidrat di dasar laut.
Post a Comment for "Hari Nusantara tanggal 13 Desember"
Post a Comment